Di suatu malam yang cerah, Listyani, gadis kecil berusia 10 tahun, sangat gembira. Hari itu adalah pertama kalinya ia akan menonton konser bersama kedua orang tuanya. Lampu-lampu kota berkelip, udara malam terasa hangat, dan suara musik dari arena konser menggema di udara.
Listyani
menggenggam tangan ayah dan ibunya erat-erat saat mereka berjalan melewati
kerumunan orang. Ia menatap panggung megah dengan kagum, lampu warna-warni
berputar menari di langit malam.
Namun, ketika
pertunjukan dimulai dan suara musik semakin keras, Listyani melihat sesuatu
aneh di belakang panggung—sebuah pintu
bercahaya yang tampak berputar seperti pusaran air.
“Papa, Mama…
itu apa?” tanya Listyani sambil menunjuk.
Tapi suara
konser begitu bising, mereka tak mendengar. Penasaran, Listyani melangkah
mendekat. Begitu ia menyentuh cahaya itu—tiba-tiba
dunia di sekitarnya berputar cepat, lampu-lampu berganti
menjadi kabut dan suara musik menghilang.
Ketika Listyani
membuka mata, ia sudah berada di sebuah kota
asing. Jalan-jalan berlapis batu, gedungnya menjulang tinggi
dari kristal yang berkilau. Penduduknya berpakaian aneh—beberapa punya sayap,
sebagian berjalan tanpa menyentuh tanah.
Listyani panik
dan berlari mencari orang tuanya.
“Mama! Papa!
Di mana kalian?”
Namun tak ada
jawaban. Yang muncul justru sekelompok anak sebayanya. Mereka tersenyum ramah.
“Kamu
baru datang, ya?” tanya seorang anak laki-laki berambut putih bernama Leno.
“Ini Kota Teritis. Tempat
yang hanya bisa dimasuki oleh orang yang terpanggil waktu.”
Listyani
bingung. “Terpanggil waktu? Aku cuma nonton konser!”
Reno tertawa
kecil. “Berarti kamu punya sesuatu yang istimewa.”
Hari-hari
berikutnya, Listyani tinggal bersama anak-anak di kota itu — Leno, Zira, dan Aqi. Mereka menunjukkan
berbagai keajaiban: pasar yang melayang di udara, taman bunga yang bisa
bernyanyi, dan sungai yang bercahaya di malam hari. Tapi Listyani tetap
merindukan keluarganya.
Suatu malam, Zira
berkata dengan wajah serius:
“Ada cara
untuk kembali ke dunia asalmu. Tapi itu berbahaya.”
Listyani
menatapnya mantap.
“Aku nggak
peduli. Aku harus pulang.”
Mereka
berjalan menuju Menara Jam
Waktu, bangunan tertinggi di Kota Teritis. Di puncaknya ada cermin emas yang menjadi
gerbang menuju masa lalu. Namun, lorong itu dijaga oleh Penjaga Bayangan,
makhluk kabut besar yang melindungi kota dari pelintas waktu.
Ketika mereka
sampai, Penjaga itu muncul. Angin berputar, lantai berguncang.
“Tak boleh ada
yang keluar dari waktu ini!” raungnya.
Leno dan Zira
berdiri di depan Listyani.
“Kami bantu
kamu, Listyani! Lari ke cermin itu!”
Listyani
berlari sekuat tenaga, air matanya menetes. Ia menatap teman-temannya yang
melawan makhluk itu dengan cahaya dari tangan mereka.
“Terima kasih…
aku nggak akan lupa kalian!”
Begitu ia
melompat ke dalam cermin, cahaya putih menyilaukan segalanya.
Ketika membuka
mata, Listyani kembali berada di konser. Lampu-lampu masih berputar, musik
masih mengalun. Seolah tak ada yang terjadi. Tapi di tangannya, ia masih
menggenggam sebuah kalung
kristal kecil — pemberian Zira.
Listyani
menatap ke langit malam sambil tersenyum haru.
“Kalian
sungguh ada… kan?”
Dan saat itu,
bintang di atasnya berkilau seolah menjawab.
Posting Komentar untuk "Teritis, Kota Dalam Lorong Waktu di Balik Konser"