Uang yang Hilang, Tekad yang Tumbuh

Langit pagi itu mendung, menggantung seperti rahasia yang belum diungkap. Dimas duduk di meja makan dengan seragam sekolah yang masih rapi. Di hadapannya, semangkuk nasi goreng buatan Ibu mengepul hangat. Namun matanya lebih tertuju pada amplop cokelat yang baru saja diletakkan Ayah di atas meja.


"Ini uang untuk bayar sekolahmu, Mas," kata Ayah dengan suara pelan namun jelas. "Tolong langsung dibayar besok, ya. Jangan ditunda."

Dimas mengangguk serius. Ia tahu betapa keras Ayah bekerja. Beberapa minggu terakhir, Ayah harus lembur sampai larut malam di bengkel tempatnya bekerja. Uang itu bukan sekadar lembaran kertas. Itu adalah hasil keringat, lelah, dan mungkin juga sedikit nyeri punggung yang Ayah sembunyikan di balik senyumnya.

“Siap, Yah,” jawab Dimas sambil memasukkan amplop itu ke dalam tasnya dengan hati-hati, lalu berangkat ke sekolah.


Hari itu berjalan seperti biasa. Pelajaran, canda tawa dengan teman, tugas-tugas yang menumpuk. Sepulang sekolah, Dimas merasa haus dan mampir ke sebuah warung kecil di tepi jalan. Ia menurunkan tasnya, mengambil dompet, membeli sebotol air, lalu melanjutkan perjalanan pulang tanpa menyadari bahwa resleting tasnya tidak tertutup dengan sempurna.

Malam harinya, saat ia membuka tas untuk mengecek kembali uang tersebut, rasa panik seketika menyergap. Amplop itu tidak ada. Ia membongkar isi tasnya berkali-kali, seolah berharap amplop itu akan muncul jika ia cukup gigih mencarinya. Tapi hasilnya tetap sama: kosong.

Ia memeriksa bawah tempat tidur, sudut lemari, bahkan menelusuri kembali jalan yang ia lalui siang tadi. Tapi malam makin gelap, dan amplop itu tetap tak ditemukan.

Dimas terduduk di lantai, matanya basah. Hatinya seperti diremas-remas. Ia merasa gagal. Gagal menjaga kepercayaan Ayah, gagal menjalankan tanggung jawab sederhana yang diberikan kepadanya.

Namun, di tengah rasa putus asa itu, muncul satu tekad. Ia harus mengganti uang itu. Bagaimanapun caranya.


Keesokan harinya, Dimas tidak langsung memberi tahu Ayah atau Ibunya. Ia tahu, mereka akan memaafkannya. Tapi ia tidak butuh maaf sekarang—ia butuh penebusan. Setelah pulang sekolah, ia mengganti seragamnya dan mulai berjalan kaki keliling kompleks, mencari tempat yang mungkin butuh pekerja paruh waktu.

Warung makan, bengkel, toko kelontong, semua ia datangi. Beberapa orang menolak dengan halus, yang lain hanya tertawa, “Masih bocah, mau kerja apa kamu?”

Hingga akhirnya, ia sampai di sebuah kios roti sederhana milik Bu Rini, seorang janda paruh baya yang tinggal tidak jauh dari rumahnya.

“Kamu serius mau kerja?” tanya Bu Rini sambil mengangkat alis.

“Saya cuma butuh kerja beberapa jam sore, Bu. Bisa bantu beres-beres, jaga kios, apapun,” jawab Dimas dengan nada sungguh-sungguh.

Bu Rini menatap Dimas lama, seolah menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Lalu ia mengangguk.

“Oke. Tapi saya nggak bisa bayar banyak, ya.”

“Berapa pun tidak apa-apa, Bu.”


Hari-hari berikutnya, sepulang sekolah, Dimas langsung menuju kios roti. Ia membantu membungkus roti, membersihkan lantai, mengangkat dus, dan kadang menjaga kios saat Bu Rini memasak di belakang. Tangan-tangannya yang biasanya hanya menulis di buku pelajaran kini mulai terbiasa memegang sapu, kain lap, dan keranjang roti.

Tubuhnya lelah setiap malam. Tapi setiap kali ia menghitung uang yang ia kumpulkan di celengan kecilnya, semangatnya tumbuh kembali. Tidak ada yang tahu. Bahkan teman-teman sekolahnya pun tidak curiga.

Di rumah, ia hanya bilang bahwa ia ada kerja kelompok sore hari. Ia tidak ingin Ayah atau Ibu tahu sebelum semuanya selesai.

Dua minggu kemudian, uang itu akhirnya terkumpul. Pas-pasan, tapi cukup. Dimas menghitungnya tiga kali sebelum memasukkannya ke amplop baru. Amplop itu ia pegang erat saat pergi ke sekolah esok harinya, kali ini memastikan resleting tasnya terkunci rapat.

Ia menyerahkan uang itu ke bendahara sekolah tanpa banyak bicara. Perasaannya lega, seperti beban besar yang akhirnya bisa ia lepaskan.


Beberapa hari kemudian, Ayah datang ke sekolah untuk mengambil laporan pembayaran. Bendahara sekolah tersenyum dan berkata, “Sudah dibayar, Pak. Oleh Dimas sendiri, minggu lalu.”

Ayah tidak berkata apa-apa saat itu. Tapi saat pulang, di tengah perjalanan naik motor tua mereka, Ayah akhirnya bertanya, “Kamu bayar uang sekolah dari mana, Mas? Uang yang Ayah kasih dulu nggak kamu pakai, ya?”

Dimas menunduk, lalu menceritakan semuanya. Tentang uang yang hilang, tentang rasa takutnya, dan tentang dua minggu kerja sore di kios roti.

Ayah tidak langsung bicara. Tapi Dimas merasakan genggaman tangan Ayah di bahunya menguat. Lalu, di tengah suara angin dan deru motor tua mereka, Ayah berkata pelan, “Kamu sudah dewasa, Mas. Ayah bangga.”

Air mata Dimas menetes pelan. Tapi kali ini bukan karena rasa bersalah—melainkan karena haru, dan rasa lega yang begitu dalam.


Sejak hari itu, Dimas tetap membantu Bu Rini di akhir pekan. Bukan karena terpaksa, tapi karena ia belajar menyukai kerja keras. Ia tahu, hidup tidak selalu mudah. Tapi selama ada niat dan tekad, tidak ada yang mustahil untuk diperbaiki.

Dan dari satu amplop yang hilang, lahirlah seorang anak yang lebih bertanggung jawab. Seorang anak yang tahu bahwa kehilangan bisa menjadi guru terbaik, jika kita bersedia belajar darinya. 

Posting Komentar untuk "Uang yang Hilang, Tekad yang Tumbuh"