Di tengah rimba Kalimantan yang lebat, di mana sinar matahari hanya menembus sela-sela dedaunan raksasa, hidup seorang peneliti bernama Dr. Andra Wirawan. Ia telah menghabiskan puluhan tahun meneliti kehidupan air tawar di pedalaman Nusantara. Namun ada satu makhluk yang selalu menghantui pikirannya — belut api atau sili api, makhluk legendaris yang dikatakan memancarkan cahaya merah keemasan di malam hari dan telah dianggap punah selama ratusan tahun.
Selama bertahun-tahun, banyak yang menertawakan obsesinya. Namun Andra tak
pernah menyerah. Ia percaya bahwa legenda sering kali lahir dari kebenaran yang
terlupakan. Maka suatu hari, dengan peralatan sederhana dan tekad yang
mengeras, ia menembus hutan purba yang belum pernah dicatat dalam peta modern.
Perjalanan itu tidak mudah. Ia melewati sungai deras, rawa beracun, dan jurang
yang tertutup kabut. Hingga akhirnya, ia menemukan sebuah gua besar
di balik air terjun yang tersembunyi. Dari celah gua, keluar hawa hangat dan
gemuruh halus seperti napas bumi. Andra menyalakan lampu kepala dan melangkah
masuk dengan hati berdebar.
Semakin dalam ia berjalan, semakin kuat ia merasakan keanehan di udara.
Tiba-tiba, di sebuah kolam bawah tanah yang jernih, ia melihatnya — ratusan
belut berwarna merah keemasan meluncur di air, memancarkan cahaya
hangat yang menari di dinding batu. Cahaya mereka seperti api yang hidup,
lembut tapi nyata.
Andra tertegun. Matanya berkaca-kaca. “Sili api…” bisiknya lirih. Ia baru saja
menemukan makhluk yang selama ini hanya dianggap dongeng.
Namun setelah rasa bahagia itu mereda, muncul ketakutan yang dalam. Ia tahu,
jika dunia luar mengetahui tempat ini, para pemburu dan kolektor akan datang.
Belut-belut itu akan diburu, dijual, dan hilang selamanya.
Maka Andra mengambil keputusan berat — ia tidak akan pernah memberitahu
siapa pun. Ia hanya mencatatnya dalam buku pribadinya dan meninggalkan
gua itu dengan hati yang penuh rahasia.
Tahun demi tahun berlalu. Andra menua. Tubuhnya rapuh, tapi kenangan tentang
gua itu tetap hidup dalam benaknya. Pada suatu sore, saat matahari hampir
tenggelam, ia memanggil cucunya, Difi, seorang anak yang juga
mencintai alam seperti dirinya.
“Difi,” katanya lembut, “Kakek ingin menunjukkan sesuatu. Sebuah tempat yang
kakek jaga selama puluhan tahun.”
Mereka pun melakukan perjalanan panjang menuju hutan itu. Setelah
berhari-hari berjalan, akhirnya mereka tiba di gua di balik air terjun. Ketika
mereka masuk, suasana gua kembali dipenuhi cahaya merah keemasan yang menari.
Difi ternganga, tak percaya pada apa yang dilihatnya. “Kakek… ini… keajaiban,”
ucapnya kagum.
Andra tersenyum, air mata menetes di pipinya. “Janji, Difi… jangan pernah
beritahu siapa pun tentang tempat ini. Biarkan mereka hidup damai, seperti yang
seharusnya.”
Difi mengangguk pelan. Ia tahu, rahasia ini bukan hanya milik mereka, tapi
milik alam itu sendiri.
Dan ketika mereka keluar dari gua, senja menutup langit dengan warna oranye
lembut — seolah alam turut berjanji menjaga rahasia para sili api
selamanya.
Posting Komentar untuk "Rahasia Belut Api Langka di Gua Hening"