KAU JUAL AKU BELI

            

Edi sangat mengagumi kepintaran Rio. Di kelasnya, sang sahabat adalah juaranya. Selalu mendapat nilai tertinggi setiap kali mengikuti ulangan. Hampir tidak pernah mendapatkan nilai yang rendah untuk semua mata pelajaran. Memang di raport tidak ada rangkingnya. Tapi semua siswa di kelas VII A tahu bahwa Rio adalah yang terbaik.

            “Aku tidak sehebat yang kau kira, Ed. Contohnya di pelajaran olahraga. Nilaiku biasa saja. Justru kamulah yang terbaik. Secara teori maupun praktik, kamu jauh lebih baik daripada aku. Kamu menguasai banyak cabang olahraga, sementara aku hanya bisa main sepakbola. Itupun sekadarnya saja. Tidak terlalu spesial,”jelas Rio ketika Edi membahas masalah tersebut.

Sepertinya Rio ingin agar Edi lebih percaya diri karena setiap orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Tidak ada yang sempurna. Bahkan sebaliknya Rio juga punya rasa iri melihat sahabatnya itu. Ia anak orang kaya. Apa saja keinginannya pasti selalu dipenuhi oleh kedua orang tuanya. Uang sakunya besar. Setiap hari Edi selalu jajan di kantin membeli apa saja yang disukainya. Sementara Rio tidak membawa banyak uang saku. Bahkan di beberapa kesempatan, ia tidak membawa uang sama sekali.

“Kamu suka kebab, Rio?”tanya Edi suatu hari.

“Aku tidak pernah makan kebab, Ed. Jadi aku tidak bisa menjawab pertanyaanmu,”jawab Rio polos. Ia menjawab apa adanya. Mendengar jawaban Rio, Edi lalu kembali ke kantin Bu Ela. Tidak berapa lama kemudian, ia sudah membawa kebab besar yang masih hangat dan memberikannya kepada Rio.

“Ini untukmu. Makanlah agar kamu tahu rasanya kebab,”perintah Edi sambil menyerahkan makanan tersebut kepada Rio.

“Terimakasih. Kau baik sekali, Ed. Maafkan aku telah merepotkanmu,”balas Rio dengan wajah berseri. Perut laparnya sedari tadi akhirnya menemukan obatnya.

“Sama-sama. Aku sendiri tidak merasa direpotkan, kok! Aku cuma ingin sedikit berbagi denganmu. Apalagi kamu juga sering membantuku mengerjakan beberapa PR yang tidak aku kuasai. Inilah balasan yang tidak seberapa karena kamu tidak pelit berbagi ilmu denganku,”Edi tersenyum lalu duduk di samping Rio dan menepuk pundaknya.

“Kau tahu siapa dia?”tanyanya lagi kepada Rio sambil menunjuk ke seseorang di kerumunan anak yang sedang bermain basket di lapangan. Rio mengangguk.

“Ya. Anak baru dari pulau seberang. Namanya Angga. Badannya tinggi besar. Cocok sekali kalau jadi atlet basket. Memangnya kenapa dengan dia?”jawab Rio lalu balik bertanya. Edi berbisik di telinganya. Ia tidak ingin ada orang lain yang mendengar.

“Benarkah begitu? Berani sekali dia itu? Rupanya dia belum tahu siapa kamu,”Rio geleng-geleng kepala.

“Tenang saja. Nanti dia akan tahu sendiri siapa aku?”timpal Edi santai.

Pulang sekolah ia mengajak Rio ke suatu tempat. Mereka berhenti di sebuah warung kecil dekat gerbang perumahan Griya Kusuma. Mereka memesan makanan dan minuman untuk menghilangkan haus dan lapar.

“Sebenarnya kita mau ngapain kesini Ed?”tanya Rio penasaran sambil menyeruput es vanilla kesukaannya.

“Aku ingin memperlihatkan pertunjukan sinetron terseru abad ini. Sabar saja. Sebentar lagi kamu akan menyaksikannya,”jawab Edi kalem.

Tidak lama kemudian muncullah sebuah mobil sedan hitam di depan warung tersebut. Seorang anak seumuran mereka lalu dilempar keluar dari mobil dalam kondisi hanya memakai celana dalam dengan kaki dan tangannya terikat.

Pak Hadi, si pemilik warung, langsung gerak cepat membantu anak itu setelah mobil sedan itu pergi dengan kecepatan tinggi. Ia melepas tali yang mengikat tangan dan kakinya. Anak itu diamankannya ke dalam warungnya dan diberikan kaos dan celana pendek miliknya.

Melihat hal itu, Rio hanya bisa melongo. Ia menatap Edi dengan penuh keheranan. Edi membalasnya dengan senyum penuh arti. Ia berdiri lalu mendekati anak malang yang ternyata adalah Angga.

“Kau tidak apa-apa, Ngga?”tanyanya lirih dengan nada seolah-olah prihatin. Angga yang masih gemetaran terkejut menyaksikan kehadiran Edi di depannya. Ia heran bagaimana bisa Edi berada di situ.

“Oh ya...A..a...aaku baik-baik saja. Kamu sendiri sedang apa di sini?”tanya Angga curiga.

“Tidak ada acara apa-apa. Aku dan Rio hanya ingin jalan-jalan saja. Kebetulan aku melihatmu tadi. Jadi aku bermaksud membantumu. Sebenarnya apa yang terjadi padamu?” tanya Edi pura-pura peduli.

“Aku sendiri bingung kenapa jadi begini. Aku tadi mau pulang sekolah. Eh, di jalan  tiba-tiba saja ada mobil berhenti lalu orangnya keluar dan membawaku pergi. Mereka mengikat dan menutup mataku. Ketika dibuka, tahu-tahu aku sudah ada disini,”jelas Angga kesal bercampur ngeri. Memorinya mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi tapi tetap tidak mampu memahami apa yang dialaminya. Beruntung ia tidak sampai dilukai atau dibunuh. Rio yang kini sudah hadir di dekat mereka hanya terdiam mendengarkan.

Setelah keadaan mulai membaik, Edi lalu mengajak Angga dan Rio pulang dengan mobilnya. Ia berniat mengantar mereka berdua pulang ke rumah. Sebuah mobil sedan  hitam datang. Merekapun masuk ke dalamnya.

Seketika wajah Angga menjadi pucat pasi ketika tahu ternyata ada orang lain di dalam mobil. Ia mengenal mereka dengan baik. Anggapun mencoba keluar lagi dari mobil itu tapi langsung ditahan oleh dua lelaki tinggi besar berjaket hitam yang kini telah duduk mengapit dirinya.

“Tidak usah khawatir. Mereka berdua teman baikku. Kau cukup mengembalikan saja uang yang kau minta tadi dariku, maka hidupmu akan aman. Kau bisa pulang ke rumah dalam kondisi sehat tak kurang suatu apa,”cegah Edi ketika tahu Angga hendak kabur dari mereka.

Dengan gemetar, Angga lalu mengeluarkan tiga lembar uang seratus ribuan dari kantung celananya lalu diberikan ke Edi yang menerimanya dengan senang hati. Tapi Edi tidak menyimpannya. Ia justru mengembalikan lagi uang itu kepada Angga.

“Aku tidak terlalu membutuhkan uang ini yang kau minta secara paksa dariku. Jadi aku setengah tidak ikhlas ketika memberikannya tadi. Namun karena kau sudah menyesal dan telah sukarela mengembalikannya padaku maka aku berikan uang ini lagi padamu. Kali ini dengan hati yang ikhlas. Terimalah sedikit rejeki ini,”ucap Edi sambil mengulurkan uang tersebut kepada Angga. Anak itu menerimanya dengan tangan gemetar ketakutan.

“Hanya saja ceritanya akan berbeda kalau kau melakukannya lagi. Aku tidak bisa menjamin kehidupanmu akan bagaimana,”tambahnya lagi dengan nada suara sedingin es. Ia lalu membukakan pintu mobil. Mereka rupanya telah sampai di sebuah gang yang menuju ke rumah Angga. Anak itu langsung saja lari secepat kilat saking takutnya.

Rio mengangguk-angguk paham sekarang. Rupanya cerita sinetron produksi Edi tidak kalah menarik dengan tayangan yang sering muncul di TV. Kau jual aku beli begitu mungkin mottonya Edi. Kini mobil itu meluncur tenang menuju ke rumahnya.

Posting Komentar untuk "KAU JUAL AKU BELI"