Asal Usul Padi Pulut (Cerita rakyat Sumatera Utara)

            

Pada jaman dahulu, di Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara, ada sebuah negeri bernama Sikice-kice. Negeri ini luas dan sangat ramai. Disana hiduplah seorang sakti yang sangat tersohor. Orang sana menyebutnya Datu atau dukun. Kehebatannya tersebar tidak hanya ke seantero negeri tapi menyeberang hingga ke daerah lain di seluruh Tanah Batak. Meski demikian tinggi ilmunya, ia tidak pernah sombong atau merasa hebat. Datu tersebut justru tidak berhenti berkeliling ke berbagai tempat untuk semakin menambah ilmunya. Ia terus berpetualang untuk menambah ilmu dan pengalaman yang akan sangat berguna bagi dirinya kelak.

            Ia sendiri dikenal orang serta dihormati kehebatannya karena merupakan pendiri negeri Sikice-kice. Alkisah, dahulu ia mencari sebuah bukit yang datar dan penuh dengan sumber mata air yang jernih. Tempat itu teduh oleh rimbunnya pohon Simarmanik besar nan rindang daunnya. Sang Datu berniat untuk mendirikan perkampungan di tempat itu.

            Maka dipersiapkanlah suatu upacara untuk memulainya. Segala perlengkapan ditata rapi. Iapun melihat ke langit dan menyaksikan mendung perlahan muncul di sana.

            “Wahai Tuhan berilah hamba petunjuk atas usahaku ini mendirikan negeri untuk anak cucu kelak. Bimbinglah hamba agar perkampungan baru ini bisa berkembang menjadi tempat terbaik untuk seluruh warganya,” seru Datu dengan suara penuh harapan. Tiba-tiba terdengar ramai riuh oleh suara hewan dan orang-orang yang tertawa riang gembira seperti merayakan suatu kemenangan. Kemudian sebuah suara berat dan berwibawa terdengar.

            “Wahai Datu bijaksana. Seperti yang kau dengar tadi, kelak tempat ini akan menjadi negeri yang subur makmur dan kaya raya penduduknya. Namun pada suatu waktu mereka akan menjadi lupa daratan. Mereka seperti lupa akan asalnya dulu. Mereka juga akan melupakanmu sebagai pendiri negeri. Mereka akan menjadi orang rakus yang tidak peduli pada sesama terutama orang miskin dan anak yatim piatu lemah tak berdaya.”

            Mendengar hal tersebut, Datu lalu kembali ke desa tempat asalnya dan menceritakan hal tersebut kepada warga. Mereka menyambutnya dengan gegap gempita dan segera berbondong-bondong pindah ke bukit tempat baru yang dijanjikan. Mereka tidak memperdulikan lagi nasehat sang Datu bahwa kabar gembira tersebut juga akan diikuti cerita menyedihkan yang seharusnya mereka perhatikan baik-baik agar tidak timbul bencana kelak di kemudian hari.

            Mereka lalu tinggal menetap dan beranak pinak di sana. Negeri Sikice-kice berkembang menjadi daerah makmur dan kaya raya. Warganya hidup berkecukupan. Namun berkembangnya kehidupan mereka tidak diimbangi adab dan  tingkah laku baik yang penuh dengan tanggung jawab. Mereka justru semakin sombong dan bertindak semaunya sendiri.

            Di negeri tersebut ternyata hidup sebuah keluarga pendatang dari negeri lain. Sepasang suami istri yang memiliki seorang anak. Namanya Olih. Ayahnya meski bukan keluarga berada atau boleh dibilang miskin tetapi memiliki wajah tampan rupawan sehingga banyak disukai gadis-gadis. Sang ayahpun lupa akan keluarganya. Ia lalu menikah lagi dengan seorang gadis dari keluarga kaya. Ia lupa keluarga karena sinar terang dari harta dunia. Ia makin lupa dan jauh dari istri dan anak pertamanya itu setelah istri barunya melahirkan dan memberinya lagi seorang anak.

            Pada saat itulah kejayaan negeri Sikice-kice mulai memudar. Diawali dari munculnya seorang lelaki tua yang aneh. Ia setengah pikun dengan penampilan seperti seorang pengemis yang sudah berhari-hari tidak mandi. Tubuhnya bau dan penuh luka bernanah yang menjijikan. Orang tua tersebut berkeliling kampung meminta sesuap nasi dan air untuk minum kepada para warga. Namun mereka tidak ada yang bersedia memberinya meskipun hanya sisa makanan sekalipun. Mereka justru berteriak-teriak hendak memukulinya.

            “Pukuli saja orang bau itu agar dia pergi dan kapok datang lagi kemari!”begitu teriak mereka dengan kejamnya. Namun belum sempat mereka melakukan hal tersebut, tiba-tiba saja orang tua tersebut berubah wujud menjadi seorang pemuda yang sangat gagah.

            “Kekejaman kalian ini akan mendapat balasan setimpal dari Tuhan!”ucapnya geram sebelum hilang tak berbekas membuat orang-orang kebingungan dan bertanya-tanya. Ia lalu dikabarkan muncul di sebuah ladang tempat seorang ibu dan anaknya yang malang hidup penuh kekurangan.

            Dan sejak saat itu, negeri Sikice-kice ditimpa musibah berkepanjangan. Kemarau panjang membuat gagal panen sehingga mereka menjadi miskin dan kelaparan selama dua tahun lamanya. Namun meski demikian sikap sombong mereka tetap tidak berubah. Bukannya bekerja keras mereka malah lebih senang berhutang kesana kemari untuk memenuhi kebutuhan hidup.

            Lain hari, datanglah orang asing lainnya. Kali ini negeri itu kedatangan tujuh orang gadis yang berniat menginap di rumah penduduk karena sudah kemalaman. Namun karena malas memberi makan, tidak ada satupun yang memberinya tumpangan. Mereka tidak rela makanan dan rumahnya dinikmati orang lain.

Satu-satunya keluarga yang mau menerima para gadis itu hanyalah si ibu miskin dan anaknya yang tinggal disebuah gubuk reot. Mereka diperbolehkan tidur di tempat itu dan dijamu dengan makanan yang sangat sederhana. Namun demikian ketujuh gadis terlihat sangat senang dan bahagia. Mereka tidur dengan nyenyak meski tempatnya tidak layak. Mereka diselimuti oleh sebuah tikar yang lebar sehingga semua gadis bisa terlindung dari dinginnya malam.

“Mohon tikar ini jangan dibuka ketika kami tengah tertidur ya, Bu?”pesan seorang diantaranya. Sang ibupun mengangguk mengerti. Tentu saja ia tidak akan berani mengganggu tidur sang tamu. Namun hingga hari ketujuh, para gadis itu belum bangun juga. Maka dengan berat hati, ibu itu membuka tikar yang menyelimuti mereka.

Ia lalu mendapati seorang gadis saja yang terlihat. Para gadis lainnya tertutup timbunan padi yang menggunung memenuhi kolong rumah. Gadis itu lalu diperciki air sehingga bisa berubah kembali sebagaimana manusia normal.

“Jangan takut, Bu. Aku adalah anak dari orang tua yang pernah kalian tolong dulu. Sebagai rasa terimakasihnya pada Ibu dan Olih anak ibu, Ayah meminta kami datang kemari,”ucap sang gadis menjelaskan maksud kedatangannya. Si Ibu lalu memeluknya dengan penuh suka cita.

Gadis itu lalu menikah dengan Olih, anaknya. Mereka hidup bahagia. Kehidupan mereka menjadi berubah. Apalagi padi yang merupakan jelmaan para gadis sangat mudah ditanam. Panen mereka banyak dan rasanya sangat enak. Padi yang gurih dan wangi tersebut kemudian dikenal dengan nama padi pulut karena lembek seperti pulut atau getah.

Kabar munculnya padi baru tersebut tersebar hingga ke seluruh negeri. Warga lalu berbondong-bondong datang meminta padi tersebut untuk menghilangkan rasa lapar mereka. Mereka berkumpul di halaman rumah Oli dan sang istri yang kini sudah dibangun dengan bagus.

            “Wahai rakyat Sikice-kice, kami akan memberikan padi ini kepada kalian asal kalian mau merubah sikap kalian yang buruk itu seperti yang kalian lakukan pada ayahku dulu. Ingatlah dua tahun yang lalu kalian kedatangan seorang lelaki tua yang sebenarnya adalah ayahku. Kalian tidak mau menolongnya bahkan mau mencelakainya. Jika sikap itu tidak berubah maka kalian akan semakin menderita,”jelas istri Olih. Warga lalu berjanji mau merubah sikapnya. Mereka berjanji akan menolong dan membantu sesama yang tengah kesusahan.

Mereka lalu mengangkat Olih untuk memimpin negeri tersebut menggantikan raja sebelumnya yang sudah tua dan sakit-sakitan. Negeri Sikice-kice pun kembali makmur dan jaya.

Posting Komentar untuk "Asal Usul Padi Pulut (Cerita rakyat Sumatera Utara)"