SENYUM MEMBAWA BERKAH

            

Gian terkenal anak yang paling murah senyum di kelasnya. Dalam kondisi dan situasi separah apapun dia tetap bisa tersenyum. Baginya tidak ada peristiwa yang harus di tangisi atau di ratapi. Hatinya sungguh seluas samudera.

“Kalau aku menangis karena kehilangan uang, maka Tuhan akan marah karena itu berarti aku tidak mau menerima takdir-Nya. Uangku hilang itu karena sudah digariskan dari sana-Nya. Maka aku harus ikhlas menerima hal itu dan berusaha agar bisa memperoleh uang yang lebih banyak di masa depan,”jelas Gian ketika ditanya kenapa ia tidak menangis ketika uang di dompetnya hilang begitu saja. Jumlahnya padahal cukup banyak. Hampir satu juta rupiah uangnya lenyap.

“Aku mencurigai Adi sebagai pelakunya. Dia tidak ikut olahraga tadi dengan alasan sedang sakit perut. Ia tinggal di kelas. Dan tidak ada orang lain di sana selain dirinya,”celetuk Damar setengah berbisik.

“Tapi dia anak yang baik. Selama ini kita mengenalnya sebagai anak yang pendiam yang tidak banyak tingkah,”sergah Wawan sembari menggelengkan kepala seperti tidak bisa menerima tuduhan tersebut.

“Bagaimana kita buktikan saja sepulang sekolah nanti. Apakah dugaanku benar atau salah?”ajak Damar semakin bersemangat.

Wawan mengangguk. Ia lalu menatap Gian seperti meminta ijin.

“Terserah kalian sajalah! Aku pusing memikirkannya,”balas Gian seperti tidak bergairah untuk menyelesaikan masalah itu.

Mereka bertiga lalu mengikuti kepulangan Adi secara hati-hati. Dari kejauhan mereka terus memperhatikan gerak-gerik anak pendiam itu.

Ia berjalan lumayan cepat seperti ada yang dikejar. Adi ternyata pergi ke sebuah bengkel sepeda depan Bakso Menul yang mantap rasanya. Rupanya sepedanya rusak hari itu sehingga ia terpaksa berjalan kaki ke sekolah yang masih cukup jauh jaraknya.

Tapi bukan tersebut yang jadi perhatian ketiga detektif jadi-jadian Gian, Damar dan Wawan. Apa yang menarik adalah ketika Adi mengambil uang di tasnya yang sudah butut dan bertambal-tambal. Uangnya terlihat masih baru. Lurus dan kaku persis seperti milik Gian yang hilang tadi. Uangnya lurus karena diberi Ayah yang mengambilnya di bank.

Dengan naik sepeda yang sudah diperbaiki, ia bergegas pergi menuju ke sebuah rumah sakit. Ternyata di sana ibunya sedang terbaring sakit. Adi hanya sebentar lalu pamit pulang. Ia memberikan ibunya beberapa makanan dan buah yang kembali ia bayar dengan uang yang masih lurus-lurus bentuknya.

“Nah, apa kataku! Uangmu pasti dia yang mencuri. Aku tidak pernah melihatnya jajan apalagi membawa uang sebanyak itu selama ini,”imbuh Damar mengomentari aksi yang baru diperlihatkan oleh Adi.

Mereka bertiga lalu terus mengikuti Adi pulang ke rumahnya. Ternyata rumah Adi ada di tepi rel kereta api. Rumahnya sangat tidak layak. Mirip gubuk di sawah. Reot dan hampir rubuh. Disana ia bertemu dengan tiga anak kecil yang ternyata adalah adiknya. Ia mengeluarkan bungkusan nasi yang baru saja dibelinya di warung. Ketiganya tampak kelaparan. Mereka makan dengan lahap. Pakaian mereka kucel seperti tidak pernah dicuci. Beberapa ada yang sudah sobek-sobek.  Adi memperhatikan ketiga adiknya itu makan dengan wajah gembira. Ia lalu memberi mereka minuman segar yang dibungkus plastik.

“Cukup Damar! Aku sudah tidak kuat lagi menyaksikan pemandangan menyedihkan ini. Seandainya uangku di curi oleh Adi. Aku rela-rela saja karena ia gunakan untuk membantu berobat ibunya yang sedang sakit serta memberi makan untuk adik-adiknya yang kelaparan,”ucap Gian seperti tidak tahan lagi. Damar dan Wawan kaget mendengar keputusan sahabatnya itu.

“Terimakasih atas kebaikan hatimu, Gian!”tiba-tiba sebuah suara yang selama ini mereka kenal muncul disamping mereka. Suara itu milik Adi. Entah bagaimana dia bisa tahu keberadaan ketiga sahabatnya itu. Damar dan Wawan langsung emosi melihat kehadiran Adi. Mereka seperti tidak rela dengan perbuatan mencuri Adi walaupun niatnya untuk kebaikan.

“Ini uang milikmu! Uang ini terjatuh dari kantung pencuri yang ketahuan olehku setelah aku baru balik dari WC tadi. Dia anak kelas enam dan sudah aku laporkan ke Kepala Sekolah kita,”jelas Adi mengagetkan mereka bertiga.

“Kok, bisa? Siapa pencuri itu? Akan ku hajar dia!”geram Damar seperti tak mampu menahan emosi.

“Kalian akan tahu sendiri besok. Aku tidak perlu menjelaskan,”jawab Adi kalem.

“Terus uang yang tadi kamu belanjakan dan untuk membayar berobat ibumu yang sedang sakit itu dapat darimana?”tanya Gian penasaran.

“Uang itu bantuan dari Pak Zaenal, kepala sekolah kita. Ia kasihan kepadaku dan ingin membantuku. Apalagi setelah mengetahui ibuku sedang sakit.”jelas Adi yang membuat Gian, Damar dan Wawan lega. Ternyata dugaan mereka meleset. Untung mereka menyelidiki terlebih dahulu sebelum bertindak lebih jauh yang akan makin membuat rumit suasana.

“Ayo mampir dulu ke rumah. Kalian tidak buru-buru, kan?”ajak Adi ramah. Ketiganya mengangguk. Damar hanya tersenyum kecut.

 

Posting Komentar untuk "SENYUM MEMBAWA BERKAH"